Benarkah Menggigit Kuku Termasuk Gangguan Psikologis

Kegiatan menggigit kuku pada anak memang mungkin saja menyenangkan bagi anak-anak. Padahal kebiasaan tersebut bukanlah hal yang baik, mengingat di seka-sela kuku bisa menjadi sumber penyakit.

Lebih banyak diperlihatkan pada anak usia antara 7 hingga 10 tahun dan usia remaja. Hal tersebut karena anak usia batita masih mendapatkan pengawasan orangtuanya.

Apakah benar, jika menggigit kuku termasuk gangguan psikologis? Maka untuk memastikannya, sebaiknya Anda memperhatikan beberapa hal berikut ini.


Menggigit kuku dapat merupakan ekspresi dari adanya rasa kecemasan yang dirasakan oleh anak dan menjadi indikasi adanya ganggua psikologis anak.

Namun jika hal tersebut disertai dengan ciri-ciri lainnya, seperti adanya kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, kesulitan dalam beradaptasi, kesulitan dalam berkomunikasi dan munculnya tingkah laku yang aneh pada diri anak.


Menggigit kuku yang eksesif dapat menunjukkan tingkah laku kompulsif dan kurangnya kemampuan anak untuk menahan dorongan (impulse control).





Menggigit kuku dapat muncul pada beberapa gangguan psikologis pada anak seperti pada anak yang mengalami kecemasan berpisah dari caregiver dan sebagainya.

Tentunya untuk menentuklan apakah menggigit kuku sebagai gangguan psikologis atau tidak, perlu memperhatikan kemunculan tingkah laku lain yang mendukung dan mempertimbangkan usia anak.

Related Posts:

3 Manfaat Utama Belajar Memasak untuk Anak

Sekarang ini sedang marak-maraknya acara masak-memasak di televisi. Tak pelak, si buah hati menjadi merasa tertarik dengan acara tersebut dan bahkan mampu memberikan pengaruh dalam dinamika keluarga saat ini.

Dahulu, memasak seringkali dianggap sebagai suatu kegiatan yang feminim dan hanya tugas perempuan saja. Namun seiring waktu, perbedaan gender mulai berevolusi.

Namun kini memasak menjadi kegiatan laki-laki dan perempuan. Fenomena ini menjadi berpengaruh terhadap minat anak. Ada banyak dampak positif memasak pada berbagai aspek tumbuh kembang anak.


Kegiatan memasak menjadi kegiatan bermain yang memiliki sifat konstruktif dan fungsional. Anak akan menjalani proses membuat makanan dan terdapat kegiatan yang berulang sehingga ia akan mengerti fungsi dari tiap langkah dan tiap bumbu dalam mengikuti resep masakan.





Berikut ini 3 Manfaat Utama Belajar Memasak untuk Anak


1. Aspek motorik dan sensorik akan terstimulasi dengan baik.

Motorik halus. motorik kasar, koordinasi tangan dan mata akan terlatih dan terasah (mengaduk adonan, mengupas, menumbuk, memotong, mengiris dan sebagainya). Sensorik anak juga terstimulasi sehingga ia akan mengerti perbedaan sensasi (hangat, dingin, kalis, basah, wangi bumbu-bumbu).

Untuk beberapa anak yang cenderung gelisah, gelisah, atau mudah marah, kegiatan sensorik dapat menjadi kegiatan yang terapeutik atau bersifat menenangkan.


2. Aspek kognitif dan bahasa ikut terstimulasi.

Anak-anak mempelajari proses dan urutan kegiatan memasak sampai mendapatkan hasil. Dan bisa menjadi kegiatan ilmiah karena anak dapat mempelajari sebab akibat, perubahan suhu, perubahan bentuk, contohnya cairang puding berubah menjadi padat, es mencair dan sebagainya.


Kosakata anak juga akan bertambah dengan istilah-istilah baru dalam memasak. Kreativitasnya pun akan terstimulasi karena ia dapat bereksperimen dengan bumbu, serta dapat menyalurkan bakat seninya menata makanan (plating).

3. Perkembangan psikologis dan sosial anak ikut berkembang.

Saat anak menghasilkan suatu makanan, akan memberikan timbal balik positif terhadap self-concept, dimana mereka menilai diri berdasarkan kemampuannya dalam memasak.



Jika pengalaman memasak ini memberikan konsekuensi positif, misalnya anak senang melihat raut wajah orang yang menyantap masakannya, mendapat apresiasi dari orangtua dan orang di sekitarnya, maka kepercayaan diri anak juga akan menjadi meningkat.

Selain itu, bisa menjadi wadah sosialisasi. Kedekatan orangtua dan anak (quality time) terjalin dengan baik. Atau apabila anak mengikuti les atau ekstrakulikuler memasak, maka ia dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya.

Related Posts:

Label